Eyang Suro

Eyang Suro
Muhamad Masdan lahir pada 1869 di daerah Gresik (Jawa Timur). Kelak kemudian putra tertua Ki Ngabehi Soeromihardjo ini dikenal dengan dengan nama Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro).

Selasa, 29 Mei 2012

Fort de Kock (Sejarah Benteng Fort De Kock)

Perjalanan wisata ke Kota Bukittinggi memang akan memberikan sesuatu yang beragam. Iklimnya yang sejuk karena berada di dataran tinggi, sekitar 930 meter dari permukaan laut membuat anda akan merasa rileks di Kota ini. Kota yang berjarak kurang lebih 90 Km dari pusat Kota Padang terse­but ternyata banyak memiliki bangunan kuno bersejarah, yang merupakan peninggalan dari masa penjajahan Belanda di Indonesia. Salah satunya ialah Fort de Kock
Belanda saat menduduki Kota Bukittinggi. Nama Fort de Kock sendiri, ternyata adalah nama lama dari Bukit­tinggi. Benteng ini dibangun pada masa Perang Paderi, sekitar tahun 1825 oleh Kapt. Bauer. Bangunan kokoh yang itu dibangun di atas Bukit Jirek, dan awalnya diberi nama Sterrenschans. Lalu, tak lama namanya berubah menjadi Fort de Kock, oleh Hendrik Merkus de Kock, yang merupakan salah satu tokoh militer Belanda.
Usai membangun benteng tersebut, beberapa tahun kemu­dian di sekitar benteng ini berkembang sebuah kota yang juga diberi nama Fort de Kock. Dan kini berubah nama menjadi Bukittinggi.
Semasa pemerintahan Be­lan­da, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme­rintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah koloial Belan­da telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat peme­rintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Fort de Kock juga diba­ngun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatera Barat. Benteng tersebut meru­pakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Su­ma­tera Barat, mereka meman­faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok aga­ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.
Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.
Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolo­nial Belanda pun melanjutkan rencananyamengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malam­bung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kom­pleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen  wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.
Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan benteng kini menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Disini anda tak hanya disajikan pemandangan alam, anda bersa­ma kelaurag juga menemui beberapa satwa burung yang menjadi koleksi di taman ini.
Setelah mengetahui banyak hal tentang catatan sejarah mengenai Fort de Kock ada baiknya anda santai sejenak di kawasan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, yang lokasinya satu kompleks de­ngan benteng peninggalan Belanda tersebut. Selain itu di kompleks Kebun Binatang tersebut juga terdapat Museum Rumah Adat Baanjuang. Anda tak perlu bingung saat mema­suki kawasan itu, benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk. Sedangkan kebun binatang dan museum berben­tuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan.
Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya kota Bukittinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukit Tinggi yaitu kawa­san Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh.
Dari atas jembatan anda dapat menikmati pemandangan pegunungan dan ngarai yang ada di sekitar kawasan tersebut seperti Ngarai Sianok, Gunung Merapi, Gunung Singgalang, Gung Sago dan Gunung Tan­dikek.

Minggu, 06 Mei 2012

KI NGABEHI SURO DIWIRYO

Muhamad Masdan lahir pada 1869 di daerah Gresik (Jawa Timur). Kelak kemudian putra tertua Ki Ngabehi Soeromihardjo ini dikenal dengan dengan nama Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro).

Setahun setelah menyelesaikan pendidikan formal setingkat SD, beliau mendapat pekerjaan magang sebagai juru tulis pada seorang kontroler (orang Belanda). Selain bekerja, beliau tetap meneruskan belajar di Pesantren Tebuireng (Jombang). Dari Pesantren inilah, Eyang Suro mulai mendalami ilmu agama dan pencak silat sekaligus. Kombinasi ini terus menjadi pola belajar yang beliau dapatkan selepas dari Tebuireng. Seperti ketika kemudian ditugaskan sebagai pegawai pengawas di Bandung, dimana selain menambah wawasan agama dari guru setempat, juga mendapatkan ilmu pencak silat aliran Pasundan seperti Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cimalaya dan Sumedangan.

Hanya setahun di Bandung, beliau harus pindah kerja ke Jakarta (Batavia). Dan selama di Jakarta pun, beliau menggunakan kesempatan untuk memperdalam ilmunya pada guru agama yang juga mengajarkan pencak silat aliran Betawen, Kwitang dan Monyetan. Setelah setahun, kemudian harus pindah kerja lagi ke Bengkulu selama 6 bulan, lalu ke Padang (Sumatra Barat). Di daerah ini, beliau tinggal hampir selama empat tahun dan juga tetap meneruskan belajar. Namun dalam budaya Minangkabau pada saat itu, mempelajari pencak silat setempat tidak mudah. Guru-guru tingkat tinggi umumnya adalah juga seorang sufi yang tidak sembarangan mengajarkan ilmu atau mengangkat murid. Salah seorang guru Eyang Suro di sini adalah Datuk Rajo Batuah. Selama di Sumatra Barat ini, beliau juga menambah penguasaan ilmu pencak silatnya dari aliran Minangkabau dan Bukittinggi. Selanjutnya Eyang Suro harus pindah tempat kerja lagi ke Aceh yang memungkinkannya memperdalam ilmu dari guru-guru di daerah setempat seperti Tengku Achmad Mulia Ibrahim, dll yang selain mengajarkan agama juga pencak silat Aceh.

Setelah empat tahun berada di Aceh, Eyang Suro kembali ke Surabaya (Jawa Timur). Ketika kemudian mulai banyak murid yang bermaksud belajar kepadanya maka agar lebih terorganisasikan kemudian dibentuk perguruan pencak silat dengan nama (dalam ejaan baru) Joyo Gendilo Cipto Mulyo / Sedulur Tunggal Kecer. Sebuah perguruan pencak silat yang kelak berkembang menjadi banyak perguruan seperti Persaudaraan Setia Hati, Setia Hati Terate, KPS Nusantara, dan beberapa nama perguruan pencak silat lainnya lagi.

Walaupun menguasai pencak silat tingkat tinggi dari berbagai daerah di Nusantara, namun justru oleh mereka yang mengenalnya, Eyang Suro sendiri dikatakan sebagai pribadi yang sangat sabar dan ramah. Beliau sendiri mengajarkan bahwa pada tingkatan tertinggi, olah pencak silat bukan lagi pada fisik tetapi spiritual, menuju pengenalan jatidiri sejati. Meskipun tidak banyak, namun ada murid-murid beliau yang kemudian mencapai tingkatan tersebut. Diantaranya alm.
Bp. Bambang Soebijantoro Karto Koesoemo (terakhir menjabat sebagai Bupati Ngawi pada 1965-1967), salah seorang keponakan beliau yang karena kecerdasannya (antara lain menguasai beragam bahasa asing secara otodidak) juga menjadi penerjemah pemerintah untuk para tamu negara. Pada 2006, seorang murid (kini tinggal di Taiwan bersama keluarganya) yang sebelumnya telah menyelesaikan jenjang pendekar dari salah satu Perguruan beliau di Madiun juga kemudian mencapai tingkatan pencerahan tersebut.

Kamis, 03 Mei 2012

Kang Munadji Sekilas Sejarah ESHA Singapore

Kang Munaji adalah anak turun YUDONEGORO (penngawal P.DIPONEGORO) yg tinggal di wonosobo jawa tengah indonesia. Beliau adik kandung alm.jend Kunkamdani..generasi ke 2 murid eyang Suro diwiryo ( murid eyang Munandar ). pada saat th 1948 kang Munaji menjadi utusan khusus presiden SOEKARNO untuk berjuang didaratan malaya. Pada akhirnya beliau bertemu dg kang JASMAN/ wak JASMAN, wak jasman seorang polisi pemerintah malaysia kang MUNAJI saat itu seorang tahanan politik dan terjadilah pengangkatan saudara,dg pengekalan pembentukan jurus gaduh setia hati esha/ ezhar,yang terdiri dari 7 jurus dan 13senaman jurus, yg mengandung semua permainan pencak n silat khas jawa,seperti cimande,ciroda,monyet puteh dsb.
Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat..

Selasa, 01 Mei 2012

Sejarah Ezhar

Perkembangan Silat Ezhar mempunyai kaitan rapat dengan pergerakan Kesenian EZHAR. Silat ini berasal dari sebuah kampung yang bernama Banten di Jawa Barat, Indonesia. Ia diasaskan oleh Munaji bin Muhammad juga dikenali sebagai Kang Munaji. Kemudiannya, di zaman pendudukan Jepun semasa Perang Dunia Kedua, Silat ini telah dibawa oleh Munaji ke Bukit Radin Mas, Tanjong Pagar, Singapura.


Setelah beliau meninggal dunia, Silat ini telah diteruskan oleh anak muridnya Jasmani bin Abdul Rahman atau lebih dikenali sebagai Kang Jasman. Di Singapura, Jasmani telah menubuhkan kesenian kompang bagi tujuan mengisi masa lapang terutamanya selepas latihan silat. Rentak dan paluan kompang EZHAR ini diilhamkan daripada rentak dan paluan kompang yang sedia ada di Singapura pada masa itu. Zikir-zikirnya pula dipetik dari kitab Diwanul Hadrah dan kitab Berzanji.

Perkataan EZHAR adalah singkatan dari perkataan Suci / Setia Hati ( S dan H ). Dalam bahasa Indonesia S disebut Esh dan H disebut Ha. Lama-kelamaan ia disebut EZHAR. Sejak itu Silat Ezhar telah bergerak dibawah naungan Kesenian Ezhar.

Diantara anak murid Kang Jasman ialah Haji Ramli bin Haji Dawam dan Muhammad bin Khalil. Haji Ramli, kemudiannya telah membawa Kesenian EZHAR ini dari Singapura ke Kampung Sungai Duyung, Melaka oleh. Dari Melaka, kesenian ini dibawa oleh Haji Ramli ke Kampung Chendana, Kuala Lumpur, dan dari situ berkembanglah Kesenian Kompang EZHAR dan Silat Ezhar ini ke seluruh Semenanjung Malaysia.   

Lambang Persatuan merupakan perkataan EZHAR di bahagian atas, Bintang Berbucu Lima dengan Bulan Sabit yang melambangkan ugama Islam, Ugama Rasmi Negara, Daun Keladi 13 jalur melengkung di kiri dan kanan melambangkan 13 Negeri Berdaulat di dalam MALAYSIA dan juga membawa pengertian 13 Rukun Sembahyang.
Bulan Sabit, Bintang, Daun Keladi, Warna Merah, Kuning dan Hijau ; 6 perkara yang menghiasi lambang EZHAR membawa pengertian kepercayaan dengan keyakinan kepada RUKUN IMAN.

Huruf K.M.S.H yang tertulis di bahagian bawah lambang membawa makna ‘KOMPANG MELAYU SETIA HATI’.

KETERANGAN LAMBANG
EZHAR : Suci Hati / Setia Hati 
Warna Merah : Keberanian Mempersembahkan Seni
Warna Kuning : Kedaulatan Raja-Raja Melayu
 Warna Hijau : Kesuburan dan Warna Islam
Bintang Berbucu 5 : Rukun Islam dan Rukun Negara

 PEMILIHAN DAUN KELADI


1. Sebagai mana pohon ini hidup menjalar, subur dan mudah tumbuh walau dimana pun, maka harapan Pakguru dan Persatuan agar seni ini akan berkembang subur walau dimana-mana.2. Getah yang mengalir didalam pohon ini membawa kiasan ianya membawa kegatalan kepada ahli-ahli ingin mempelajari kesenian ini.