Eyang Suro

Eyang Suro
Muhamad Masdan lahir pada 1869 di daerah Gresik (Jawa Timur). Kelak kemudian putra tertua Ki Ngabehi Soeromihardjo ini dikenal dengan dengan nama Ki Ageng Hadji Ngabehi Soerodiwirdjo (Eyang Suro).

Minggu, 09 Oktober 2011

SAPTA WASITA TAMA

Pedoman hidup seorang SH-wan ialah Sapta Wasita Tama, yang artinya sapta (tujuh),wasita(ajaran/pedoman),tama
(utama/luhur) dengan demikian Sapta Wasita Tama berarti tujuh pedoman yang luhur menjadi sendi – sendi kehidupan rohani SH, melaksanakan tata kehidupan bermasyarakat.

SAPTA WASITA TAMA

1. Tuhan menciptakan alam seisinya hanya dengan sabda sebelum
disabda (dumadi) alam seisinya itu ada pada yang Menyabda.
2. Setelah alam semesta seisinya ada (Disabda) Tuhan menyertai
sabdaNya.
3. Barang siapa meninggalkan AS-nya tergelincirlah ia oleh lingkungan
sekelilingnya (omgeving).
4.Barang siapa meninggalkan keseimbangan, tergelincirlah ia
5.Barang siapa melupakan/meninggalkan permulaan, tak akan dapatlah
ia megakhirinya.
6.Barang siapa mengaku hasil karyanya menjadi milik sendiri
terbelengulah ia lahir bathin.
7.Barang siapa selalu melati merasakan “rasaning rasa”, Insya Allah
lambata laun ia akan kerasa ing rosing roso.

Rosoning roso ialah sumber dari rasa, keroso ing rosing roso ialah terasa atau merasakan inti pusat dari rasa. Inti pusat ini sering disebut rasa sejati, sejatining rasa, Kalbu, Hati Sanubari, Pribadi. Apabila orang tersebut telah “kerasa ing rosing rasa,” maka ia akan merasakan tanpa sarira, denga kata lain ia akan merasakan atau terasa yang tiada jasati, yang rohani, yang ghoib.

Yang pada hakekatnya Sapta Wasita Tama memberi bimbingan kearah kesadaran rohani yang mendalam, berhubungan antara sikap diri dan pribadi sebagai individu atau orang seorang terhadap diri pribadi sebagai totalitas yang utuh dan bulat. Proses ini sesungguhnya hanya merupakan satu tahap mengenal diri pribadi. Kesadaran yang rohani dan mendalam inilah akan membawa orang pada “rasa pengrasa” hidup dengan Tuhan dalam Tuhan. Kesadaran inilah sesungguhnya hasil daripada “mawas diri” yang dihayati dengan teratur, teliti dan tekun

7 komentar:

  1. ASS. ALHAMDULILLAH DIBUMI KATULISTIWA SYA BERTUGAS SEMPAT MEMBUKA KEMBALI AJARAN SAPTA WASITA TAMA YANG SDH LAMA TDAK KAMI DISKUSIKAN SEPERTI DI MADIUN DAN JAKARTA 20 THN LALU.
    SEMOGA KADHANG-KHADANG RUMPUN SH DAPAT MENGIMPLEMENTASIKAN MAKNA AJARAN TERSEBUT. SEMOGA SUKSES.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mas.. saya boleh minta alamat e.mail atau alamat fbnya mas? saya seorang SH.. saya mendapatkan teks ulasan mengenai sapta wasita tama dari seorang sesepuh perguruan SH dan bahkan beliau adalah pendiri SHT di kota tempat saya tinggal.. saya di wejang oleh beliau untuk membagikan ulasan tersebut kepada warga SH yang lain.. semoga mas berkenan menyebarkan atau membagikan ulasan tersebut kepada segenap warga SH.. terimakasih.. salam... Rahayuu...

      Hapus
  2. mas.. saya boleh minta alamat e.mail atau alamat fbnya mas? saya seorang SH.. saya mendapatkan teks ulasan mengenai sapta wasita tama dari seorang sesepuh perguruan SH dan bahkan beliau adalah pendiri SHT di kota tempat saya tinggal.. saya di wejang oleh beliau untuk membagikan ulasan tersebut kepada warga SH yang lain.. semoga mas berkenan menyebarkan atau membagikan ulasan tersebut kepada segenap warga SH.. terimakasih.. salam... Rahayuu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh dikirimin emailnya juga ke sini: ahlitaman@gmail.com
      suwun...

      Hapus
  3. Rasa (dibaca 'Roso') Masyarakat Jawa

    Manusia Jawa lebih suka mengidentikkan Jiwa atau bathin mereka dengan hati. Manusia Jawa lebih memilih menggunakan kosakata yang serba berbau hati jika menyangkut pemikiran dan Jiwa manusia. Ketika meminta pertimbangan orang lain terkait satu permasalahan pelik yang tidak bisa dipecahkan sendiri, orang Jawa akan selalu melontarkan pertanyaan : “Piye manut pangrasamu?” (Bagaimanakah menurut perasaanmu?). Orang Jawa tidak pernah mengucap : Bagaimana menurut pemikiranmu? Bukan pikiran yang dijadikan parameter untuk mempertimbangkan sesuatu, namun perasaan yang dipakai. Hal yang sama juga dilakukan ketika memberi saran kepada orang lain agar orang yang diberi saran memikirkan masak-masak keputusan yang hendak diambil. Dalam situasi seperti ini orang Jawa akan menyatakan : “Dipun galih rumiyin ingkang saestu.” (Dirasakan benar menggunakan hati terlebih dahulu dengan sungguh-sungguh.) Seharusnya bukankah yang bisa dipergunakan untuk mempertimbangkan sesuatu secara logis adalah pikiran, bukan perasaan? Namun pada kenyataannya, orang Jawa memang selalu menghindar menyebut ‘pikiran’. Mereka lebih memilih menyebut ‘perasaan’ atau ‘hati’. Dan itu masih berlaku hingga sekarang.

    Mungkin hal ini yang menjadi penyebab masyarakat Jawa menjadi masyaraat yang lembut dalam bersikap dan berperilaku. Karena dalam segala hal, orang Jawa akan selalu mengedepankan rasa dan hati. Sebenarnya kebiasaan seperti ini adalah kebiasaan yang baik asal saja tidak keterlaluan sehingga sampai-sampai meninggalkan peran pikiran. Terlalu mengedepankan perasaan dampaknya akan menciptakan masyarakat yang tidak saja halus dalam berperilaku, namun juga sensitif dan emosional dalam menyikapi segala kejadian, walaupun lagi-lagi ekspresi emosi itu tetap akan dikeluarkan dengan cara yang halus, bisa dalam bentuk sindiran atau dalam bentuk kasak-kusuk di belakang. Dan model kasak-kusuk di belakang seperti ini yang akan banyak diketemukan di sudut-sudut kampung Jawa.

    Fenomena mengedepankan rasa oleh orang Jawa seperti ini disebabkan kekeliruan mereka dalam menerima kearifan masa lalu. Semenjak dulu, masyarakat Jawa senantiasa diberikan petuah oleh orang tua-tua agar mereka mau mempelajari Ilmu Rahsa. Rahsa artinya adalah Rahasia, yaitu kondisi bathin yang melampaui Jiwa. Rahsa adalah bagian dari Ruh. Disebut As-Sirr dalam ‘Arab. Bahkan diterjemahkan pula sebagai Rasul atau Utusan. Mempelajari Ilmu Rahsa berarti mempelajari ilmu kesempurnaan itu sendiri. Namun pesan yang baik ini disalah pahami. Mereka menganggap petuah yang mereka terima dari orang tua-tua Jawa adalah anjuran untuk mempelajari Rasa, mengedepankan Rasa. Dan mungkin, orang tua-tua yang memberikan petuah kepada mereka juga telah terlebih dahulu memulai kekeliruan itu ketika menerima pesan serupa dari orang tua mereka pada masa lalu. Satu kekeliruan yang sudah terlanjur berlaku bagai lingkaran setan.

    Rasa sendiri adalah satu entitas rendah yang merupakan bagian dari Jiwa. Rasa itu lebih kecil dari Jiwa. Ketika pesan untuk mempelajari Ilmu Rahsa dipahami untuk mempelajari Rasa, maka dampaknya akan menjadi seperti apa yang bisa kita lihat pada masyarakat Jawa sekarang. Yaitu masyarakat yang senantiasa mengedepankan rasa mereka dan cenderung mengesampingkan pikiran. Segala sesuatu akan selalu dirasa-rasakan, bukan dipikir-pikirkan. Itu sebabnya masyarakat Jawa sekarang lebih mahir dalam soal kretaifitas seni dan sastra, dibandingkan kemahiran dalam bidang ilmu pengetahuan yang cenderung lebih menggunakan logika. Rahsa jelas bukan Rasa. Rahsa adalah sumber dari Rasa, bahkan sumber dari Jiwa itu sendiri. Ketika kita berbicara Rahsa maka kita berbicara tentang paripurnanya empat unsur Jiwa, yaitu Kesadaran, Pikiran, Perasaan dan Ingatan. Namun ketika kita berbicara Rasa, maka kita hanya berbicara tentang satu unsur kecil bagian dari Jiwa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasa Pangrasa adalah suatu tuntunan batin yang dimaifestasikan dalam bentuk lahir. Manifestasi yang demikian maka lahirlah "Budaya" yang memiliki unsur Rasa,Karsa dan cipta. Dalam sosiologi akan kita temukan hal yang demikian.

      sebuah kealpaan jika budaya Jawa hanya disandarkan ada perasaan tanpa landasan logika/pemikiran. Dalam perjalanannya banyak situs "budaya" yang menunjukan bahwa pemikiran orang jawa sangat maju sebelum masa Kolonialisme. sebut saja ilmu tentang teknik sipil, metalurgi, meteorologi,navigasi dan Ilmu Pemerintahan sangat berkembang sangat baik.
      Seakan-akan kita lupa bahwa teknologi baju besi masa Kerajaan Citarum hingga Perahu Jung dan Cetbang Majapahit pernah merajai wilayah Asia Tenggara.

      Bahwasanya generasi saat ini terlalu curiga kepada Karya Sastra Jangka Jaya Baya dan karya lainya hanyalah ilmu klenik dan kebetulan saja. Bahwasannya hakekat hidup itu tidak lepas dari logika hukum sebab akibat "Jika Maka".

      Terkadang orang-orang menyangsikan jika memang hebat, mengapa Sriwijaya, Majapahit hancur ? Jangan lupa sesuatu itu ada masanya, Romawi dan Yunani yang sebesar itupun hancur. Tidak terkecuali negara yang paling modern saat inipun ada masa kehancurannya.

      Mohon Maaf Salam Persaudaraan

      Hapus